Sebab Imam Muslim Menulis Kitab Shahihnya
Bersama Pemateri :
Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah
Sebab Imam Muslim Menulis Kitab Shahihnya adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 7 Rabiul Akhir 1446 H / 10 Oktober 2024 M.
Kajian Islam Tentang Muqaddimah Shahih Muslim
Dahulu, dikatakan:
أهل الحديث هم أهل النبي وإن لم يصحبوا نفسه أنفاسه صحبوا.
“Ahlul Hadits adalah keluarga (golongan) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Meskipun mereka tidak menemani fisik beliau, nafas-nafas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka jadikan kawan sehari-hari.”
Maksudnya, mereka mempraktikkan sunnah, ajaran, dan semua yang beliau tuntunkan. Ahlul Hadits bukan hanya orang-orang yang mempelajari teorinya, tetapi juga yang berusaha untuk memahami, mempraktikkan, dan memperjuangkan sunnah Nabi.
Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa. Beliau berkata: “Yang kami maksud dengan Ahlul Hadits bukan hanya orang-orang yang menulis atau mendengar dan meriwayatkan saja, tetapi mereka adalah orang-orang yang terdepan dalam memahami, menghafalkan, dan mengamalkan, baik secara lahir maupun batin.”
Itulah Ahlul Hadits, dan mereka terhormat. Sebagaimana sering kami sampaikan, hal ini menjadi tanggung jawab bersama setiap individu muslim. Sebab, sunnah mampu menghilangkan segala tata cara yang tidak sesuai sunnah, yang biasa disebut dengan bid’ah. Ketika hadits-hadits tidak dikenal, maka lawannya (bid’ah) akan terlihat jelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Awza’i rahimahullah—seorang ulama ahli Syam yang meninggal tahun 157 Hijriah: “Jika Ahlul Ilm (ulama) tidak mengingkari bid’ah yang menyebar, maka bid’ah tersebut akan dianggap sebagai sunnah.”
Ini adalah kenyataan yang dihadapi kaum muslimin saat ini. Sunnah menjadi asing, sedangkan yang tidak sesuai dengan sunnah justru dianggap sebagai kaidah. Mayoritas kaum muslimin tidak memahami hadits, sehingga mereka tidak tahu mana yang benar. Oleh karena itu, para muhadditsin berupaya mensosialisasikan dan mengetengahkan hadits-hadits yang shahih. Hal ini adalah agar tidak ada lagi ruang bagi hadits yang lemah, apalagi palsu.
Semoga, seperti yang telah disampaikan pada pertemuan sebelumnya, kita dapat bersabar dalam mempelajari hadits. Mempelajari hadits adalah kehormatan, dan merupakan salah satu ibadah yang paling agung. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah, yang wafat pada tahun 161 Hijriah, pernah berkata:
ما أعلم على وجه الأرض من الأعمال أفضل من طلب الحديث لمن أراد به وجه الله
“Aku tidak tahu ada amal yang lebih utama di muka bumi ini daripada mempelajari hadits, jika orang yang mempelajarinya ikhlas karena Allah.”
Semua amal memang harus ikhlas; baik shalat, sedekah, maupun mengaji, semuanya harus dilakukan dengan ikhlas. Tetapi saat ini, ketika hadits menjadi jarang dipelajari dan asing, sebagian orang mungkin tidak lagi tertarik untuk mendalami hadits. Bahkan, ada yang lebih fanatik terhadap mazhab daripada mengikuti hadits itu sendiri. Padahal, kita tahu bahwa ketika seseorang shalat dan tidak memahami tata cara shalat madzhabnya, ia tidak berdosa. Namun, ketika ia shalat tidak sesuai dengan sunnah, maka hal itu yang akan ditanya oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat.
InsyaAllah, kita akan mempelajari beberapa pernyataan Imam Muslim dalam Mukadimah Shahih Muslim. Para pemirsa sekalian, yang akan kita pelajari bukan hadits-hadits dalam shahih Muslim itu sendiri—alhamdulillah, banyak kaum muslimin yang sudah mempelajarinya—melainkan kita akan fokus pada pernyataan Imam Muslim dalam Mukadimah Shahihnya. Di sana terdapat pembahasan dan poin-poin penting tentang ilmu hadits, yang sangat perlu diperhatikan oleh kaum muslimin, baik yang ahli maupun yang awam, agar kita selamat dari berbagai kesalahan.
Khutbah Imam Muslim
Kita mulai dengan pembahasan kitab Mukadimah yang oleh para ulama disebut sebagai khutbah Imam Muslim. Beliau menjadikannya sebagai pendahuluan dari Kitab Shahih Muslim. Kita memahami bahwa hadits-hadits dalam Shahih Muslim pada umumnya sudah lepas dari kritikan. Meskipun ada beberapa ulama yang mengkritik sebagian hadits di dalamnya, secara umum hadits-hadits tersebut dinilai shahih.
Imam Muslim ingin memberikan pencerahan kepada kaum muslimin bahwa hadits memang perlu dipilih yang shahih. Ini penting karena banyak orang, bahkan yang memahami ilmu agama, terkadang kurang memperhatikan hadits shahih, atau mencampuradukkan antara hadits shahih dan yang tidak shahih. Akibatnya, banyak di antara masyarakat yang tidak mengetahui *mana hadits yang benar-benar dapat dijadikan pedoman).
Imam Muslim rahimahullah mengatakan بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (Bismillahirrahmanirrahim). Beliau memulai dengan basmalah, sebagai bentuk tabarruk (mencari keberkahan) dengan menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla.
Para ulama sering kali mengawali karya mereka dengan basmalah, dengan beberapa tujuan: pertama, untuk mencari keberkahan melalui nama Allah. Kedua, mencontoh Al-Qur’an yang juga dimulai dengan basmalah. Ketiga, meniru dan mengikuti praktik Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam surat-surat beliau yang dikirim kepada para raja. Dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menulis: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ. (Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah surat yang ditulis oleh Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya, kepada Heraklius, penguasa Romawi.)
Ini adalah upaya para ulama untuk mengikuti teladan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang memulai surat-suratnya dengan basmalah.
Dalam cetakan yang kita baca ini, terdapat tulisan وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا Ini juga mengikuti Al-Qur’an yang menggabungkan antara selawat dan salam. Selawat berarti doa, dan apabila selawat itu diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, artinya Allah menyebutkan hamba-Nya di hadapan para malaikat. Ini disebutkan oleh Imam Bukhari rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah dalam ayat: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ (Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya berselawat kepada Nabi) (QS. Al-Ahzab [33]: 56). Kata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika Allah ‘Azza wa Jalla menshalawati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, artinya Allah menyebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di hadapan para malaikat. Adapun selawat dari malaikat, maksudnya adalah doa. Hal ini juga ditegaskan oleh Imam Bukhari rahimahullah.
Dalam cetakan ini, shalat dan salam digabungkan, dan ini baik, sebagaimana perintah Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan.” (QS. Al-Ahzab [33]: 56).
Menggabungkan shalawat dan salam merupakan cara yang paling sempurna. Ini juga menjadi keistimewaan Ahlul Hadits. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah mengatakan bahwa seandainya Ahlul Hadits tidak memiliki keistimewaan lain kecuali mereka paling banyak bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itu sudah cukup bagi mereka. Karena Ahlul Hadits, setiap kali membaca hadits, mereka selalu menyebutkan nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang berarti mereka bershalawat setiap kali menyebutkan nama beliau.
Kemudian beliau mengatakan,الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ (Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam). Di sini disebutkan bahwa segala pujian hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabb yang berarti Pemilik, Pencipta, Pemelihara, Pemberi rezeki, dan seterusnya. Al-‘Alamin mencakup segala sesuatu selain Allah. Allah ‘Azza wa Jalla adalah nama yang paling agung, yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kata “Rabb” secara bahasa berarti pemilik. Dalam bahasa Arab, kata “Rabb” dapat digunakan makhluk, misalnya, “Rabbul Ibil” yang berarti pemilik unta, atau “Rabbul Bait” yang berarti kepala rumah tangga. Penggunaan “Rabb” untuk makhluk ini diperbolehkan secara syariat. Namun, Rabbul ‘Alamin hanya mengacu kepada Allah, yang merupakan Rabb atas segala sesuatu yang diciptakan-Nya.
Kata “Alhamdu” (segala pujian) di sini, menurut para ulama, memiliki makna yang mencakup segala pujian, sehingga semua pujian hanya milik Allah Ta’ala.
“Kelak pada hari kiamat, kemenangan dan kesudahan yang baik hanya milik orang-orang yang bertakwa,” meskipun di dunia mereka mungkin tidak menonjol dalam hal keuntungan duniawi. Ketakwaan membutuhkan kesungguhan, dan pada hari kiamat, Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan balasan yang sempurna kepada hamba-hamba-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Raja hari pembalasan” (QS. Al-Fatihah[1]: 4)
Artinya, Allah akan menegakkan keadilan yang sempurna pada hari kiamat. Setiap orang akan menerima haknya. Orang yang pernah didzalimi akan mendapatkan keadilannya, dan orang-orang yang bertakwa akan meraih kemenangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
… فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ…
“Orang yang diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, mereka adalah orang-orang yang benar-benar menang.” (QS. Ali ‘Imran[3]: 185)
Kemudian disebutkan, “Washallallahu ‘ala Muhammadin khatimin nabiyyin” (Semoga shalawat Allah diberikan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, penutup para nabi). Khatam berarti penutup, bukan cincin atau penghias para nabi. Karena memang dalam hadits shahih, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan,
أنا خاتم النبيين لا نبي بعدي
“Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.” (HR. Muslim)
Maka, jika ada orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jelas dia sesat. Sepanjang sejarah, banyak orang yang mengaku nabi, terutama laki-laki. Namun, ada pula yang perempuan, dan ini lebih menyimpang lagi. Bahkan, yang lebih mengejutkan adalah adanya orang yang percaya kepada mereka, menunjukkan kedangkalan aqidah yang sangat serius.
Kemudian disebutkan, “wa jami’il anbiya’i wal mursalin” (dan seluruh nabi serta rasul). Dalam redaksi ini, Imam Muslim rahimahullah tidak menyebutkan shalawat dan salam kepada keluarga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Para ulama menyatakan bahwa ketika mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta keluarganya adalah sunnah, dan pahalanya lebih besar. Namun, jika tidak dilakukan, maka tidak mengapa. Yang menjadi masalah adalah jika ada orang yang hanya bershalawat kepada keluarga nabi saja, tetapi tidak kepada sahabat-sahabat beliau. Ini adalah kebiasaan sebagian sekte seperti Syi’ah, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdul Karim Al-Khudair.
Sebaliknya, jika ada orang yang hanya bershalawat kepada para sahabat tanpa menyertakan Ahlul Bait, ini adalah kebiasaan kelompok Nawasib atau Khawarij, yang hanya mendoakan para sahabat tetapi tidak kepada Ahlul Bait.
Alasan Imam Muslim menulis kitab Shahih Muslim
Kemudian beliau mulai mengungkapkan alasan mengapa menulis kitab Shahih Muslim. Dalam mukadimah ini, beliau ingin menjelaskan beberapa pokok penting terkait hadits, di antaranya bahwa hadits yang lemah tidak boleh diamalkan, dan bahwa mengada-adakan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan dosa besar.
Pada awal mukadimah, Imam Muslim menjelaskan bahwa penulisan kitab ini sebenarnya berdasarkan permintaan salah seorang muridnya yang sangat dekat, yaitu Ahmad bin Salamah An-Naisaburi. Ahmad bin Salamah rahimahullah adalah sahabat perjalanan ilmu Imam Muslim. Beliau sering menemani Imam Muslim dalam safar menuntut ilmu, serta banyak membantu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh Imam Muslim.
Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam tulisan yang dimaksud oleh Imam Muslim, seolah-olah beliau berbicara langsung kepada Ahmad bin Salamah An-Naisaburi. Dalam mukadimah itu disebutkan, “Fainnaka yarhamukallah” (Sungguh, semoga Allah merahmatimu), yang merupakan doa dari seorang guru kepada muridnya. Ini adalah teladan yang baik, di mana seorang guru dianjurkan sering mendoakan muridnya. Murid bukanlah musuh, jangan jadikan mereka seperti robot hanya menjalankan perintah dan tugas. Namun, seorang guru perlu banyak mendoakan murid-muridnya. Ketika murid sukses, pahalanya akan mengalir kepada gurunya. Apa kurangnya jika seorang guru mendoakan agar Allah ‘Azza wa Jalla memudahkan urusan murid dan memberi keberkahan pada ilmunya? Pada akhirnya, yang merasa bangga adalah gurunya juga.
Sayangnya, banyak guru di zaman ini tidak mendoakan murid-muridnya. Bahkan, mereka cenderung kurang profesional dalam mendidik. Ketika ada murid yang membanggakan, terkadang itu bukan hasil belajar dari guru tersebut. Hal ini sangat memprihatinkan. Kita perlu memperbaiki dan berbenah.
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54567-sebab-imam-muslim-menulis-kitab-shahihnya/